Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) bikin gerah World
Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS).
Fadilah
berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam
mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza
(H5N1).
Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia,
perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke
pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah!
Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.
Selain
dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama
dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It's Time for the World to
Change.
Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakukan negara adikuasa
dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus
flu burung.
"Saya
mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan
menjual vaksin ke negara kita," ujar Fadilah kepada Persda Network di
Jakarta.
Situs berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah
dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan
senjata biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan
memproduksi senjata biologi.
Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO.
"Kegerahan
itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka gerah, monggo mawon. Betul apa
nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja dibikin gerah, tetapi juga
kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menidas kita, lewat WTO,
lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak ada kita sudah kaya,"
ujarnya.
Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak
masing-masing 1.000 eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun
bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku.
"Saat ini banyak yang
meminta jadi dalam waktu dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam
jumlah besar. Kalau cetakan pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk
rencana ini, saya sedang mencari bicarakan dengan penerbitan besar,"
katanya.
Selain mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua.
"Saya
sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku itu akan saya beberkan semua
bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi
saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk kelontongan."
Virus
yang saya kirimkan dari Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George
Bush," ujar mantan menteri kesehatan pertama Indonesia dari kalangan
perempuan ini.
Siti enggan berkomentar tentang permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari peredaran.
"Bukunya
sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia, sebagian, sekitar 500 buku
saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa
Inggris dijual," katanya sembari mengatakan, tidak mungkin lagi menarik
buku dari peredaran.
Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan
peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI
bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu.
Mengubah Kebijakan Apapun
komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia.
Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS
dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah
dipakai selama 50 tahun.
Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005.
Majalah
The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang
memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.
"Mantan
Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti
lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi
ancaman virus flu burung, yaitu transparansi," tulis The Economist.
The
Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika, edisi pekan
lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik
flu burung 2005 silam.
Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun
aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena
kasus flu burung.
Di tengah upayanya mencari obat flu burung,
dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center
(WHO CC) di Hongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen.
Mulanya,
perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium
litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa
WHO CC meminta sampel dikirim ke Hongkong?
Fadilah merasa ada
suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus
orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO CC
untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit
virus.
Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia
menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar
dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung.
Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi.
Fadilah
marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat
negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza
Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah
menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari
110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa
menolak.
Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin.
Di
saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para
ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO
CC.
Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratory di New Mexico, AS.
Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui.
Los
Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah
dahulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu, untuk
vaksin atau senjata kimia?
Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia
minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak
boleh hanya dikuasai kelompok tertentu.
Ia berusaha keras. Dan,
berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang
selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, memujinya.
Majalah
The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi
transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC
agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah
ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi
Pentagon.
Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara.
Ia
juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus
yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang
imperialistik dan membahayakan dunia.
Dan,
perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap
menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan
Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting
(IGM) WHO di akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing
virus disetujui dan GISN dihapuskan.
Sumber : Tribun Timur, Google & WHO